Kontrak
Alice Rahmawati
Aku pergi ini bukan untuk kesenanganku. Namun demi keluarga kita. Yang sedang membutuhkan banyak biaya. Lihat Santo dan Santi. Mereka sudah remaja. Sekolah mereka mahal. Pemerintah hanya memberi janji-janji kosong agar pendidikan bisa gratis. Buktinya mereka hanya dibebaskan uang sekolah saja. Sedang buku-buku harganya selangit. Uang test, uang pratikum, dan uang tetek bengek yang lain masih saja ada.
Lihatlah rumah kita. Banyak bocor disana sini. Dinding rumah kita berlubang. Membuatku kedinginan di malam hari karena angin bebas menerabas masuk. TV kita rusak. Kasihan anak-anak harus ke rumah tetangga untuk mencari hiburan. Utang kita sudah menumpuk di warung depan. Aku malu jika kau suruh mengutang beras lagi. Kamu ingat saat Santo pulang rumah dengan muka muram. Ia kepengin handphone berwarna yang ada kamera nya. Dan Santi, ingin punya tas dan sepatu seperti milik Rani, anak Pak Mamat, juragan tanah itu.
Kalau aku pergi nanti, jangan lupa urus anak-anak ya. Perhatikan sekolahnya. Aku ingin mereka jadi “orang’. Tidak seperti kita ini, lulusan SMP tapi nelangsa. Juga ibu dan bapakku. Tolong jenguk mereka sesekali. Simpan uang-uang yang nanti kukirimkan. Gunakan sebaik-baiknya, supaya keringatku ini tak sia-sia. Doakan aku selamat tiba di Taiwan.
Kulipat suratku. Memasukkannya ke amplop dan menaruh di rak kayu dekat tempat tidur reyot kami. Bergegas aku pergi. Meninggalkan kemelaratan ini. Lima tahun lagi aku kembali. Sehabis masa kontrakku dengan dia, duda tua kesepian.
Wah,kirain surat wasiat…
ternyata…
baguz! 🙂
bagus,…
terima kasih ya 🙂
jangan bosan-bosan mampir ke blog kami..